Gunung Rinjani yang berada di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, merupakan salah satu gunung berapi tertinggi di Indonesia dengan ketinggian 3.726 meter di atas permukaan laut.
Namun, di balik keindahan dan ketinggiannya, Gunung Rinjani menyimpan sejarah geologis yang sangat panjang dan menarik, yang dikenal sebagai sejarah Gunung Rinjani Purba.
Gunung Rinjani yang kita kenal saat ini merupakan bagian dari sistem vulkanik yang jauh lebih tua. Sebelum Rinjani terbentuk, wilayah ini diyakini pernah didominasi oleh sebuah gunung berapi raksasa yang disebut oleh para ahli sebagai Gunung Samalas.
Menurut penelitian dari para vulkanolog dan ahli geologi, Gunung Samalas mengalami letusan dahsyat sekitar tahun 1257 M, yang merupakan salah satu letusan terbesar dalam 7.000 tahun terakhir.
Letusan ini menyebabkan kehancuran total Gunung Samalas, menciptakan kaldera besar yang kini dikenal sebagai Kaldera Rinjani.
Letusan ini juga membentuk Danau Segara Anak, yang kini berada di kawah Rinjani, serta menciptakan kerucut baru yang menjadi Gunung Barujari.
Abu dari letusan Samalas ditemukan di berbagai belahan dunia, mulai dari Greenland hingga Antartika, menunjukkan dampak global letusan tersebut. Ini juga diyakini menyebabkan anomali iklim global, termasuk gagal panen di Eropa dan Timur Tengah.
Setelah kehancuran Samalas, sistem vulkanik di wilayah itu tidak mati. Aktivitas vulkanik terus berlanjut dan perlahan membentuk gunung baru, yang kini dikenal sebagai Gunung Rinjani. Gunung Barujari yang berada di dalam danau Segara Anak dianggap sebagai pusat aktivitas vulkanik modern dari sistem Rinjani.
Letusan besar Gunung Samalas juga tercatat dalam naskah kuno Babad Lombok, yang menyebutkan kehancuran kota besar “Pamatan” (ibukota kerajaan Lombok saat itu) akibat “api besar dari gunung”. Ini menjadi salah satu bukti sejarah lokal yang mendukung catatan ilmiah tentang letusan besar abad ke-13.
Gunung Rinjani yang berdiri megah saat ini sebenarnya adalah produk dari proses geologis panjang yang dimulai dari Gunung Samalas Purba. Letusan dahsyat pada tahun 1257 menandai titik balik sejarahnya dan menciptakan bentuk geografis yang kita kenal saat ini: Kaldera besar, Danau Segara Anak, dan Gunung Rinjani dengan Barujari di dalamnya.
Mulai Dikenal Lewat Komunitas Pendaki
Gunung Rinjani bukan sekadar gunung berapi aktif dengan ketinggian 3.726 mdpl. Ia adalah mimpi sekaligus tantangan, tempat di mana langit seolah lebih dekat, dan alam berbicara lewat sunyi, angin, dan danau biru di ketinggian. Tapi bagaimana asal mula Rinjani bisa begitu diminati para pendaki, bahkan dari luar negeri?
Sejak dulu, Rinjani sudah menarik perhatian pecinta alam. Tak hanya karena tingginya, tapi juga karena panorama yang lengkap: jalur savana yang luas, hutan tropis, dan pemandangan kaldera besar yang menampung Danau Segara Anak—sebuah danau kawah eksotis yang menenangkan jiwa.
Di tengah danau itu berdiri gagah Gunung Barujari, anak gunung berapi yang masih aktif, menjadikan pemandangan Rinjani seperti lukisan hidup. Keindahan inilah yang sejak lama mengundang para pendaki untuk datang, berkemah, dan menikmati fajar dari atap Nusa Tenggara.
Pada era 1980-an hingga awal 2000-an, Gunung Rinjani mulai mencuri perhatian komunitas pendaki dari luar Lombok. Komunitas pecinta alam, mahasiswa pencinta alam (mapala), dan penjelajah nusantara mulai menjadikan Rinjani sebagai target pendakian tahunan.
Informasi dan cerita tentang Rinjani menyebar dari mulut ke mulut, lalu berkembang ke media cetak, forum internet, hingga media sosial. Foto-foto puncak Rinjani dan Segara Anak mulai viral sejak era awal Facebook dan Instagram.
Seiring waktu, akses menuju basecamp pendakian seperti Sembalun dan Senaru semakin mudah. Warga lokal juga ikut terlibat aktif sebagai porter, guide, hingga pengelola homestay. Kehadiran Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) turut mengatur jalur dan ekosistem, menjadikan pengalaman mendaki lebih aman dan tertata.
Program pendakian berbasis ekowisata pun diperkenalkan, sehingga Rinjani tak hanya menawarkan keindahan, tapi juga edukasi tentang alam dan konservasi.
Selain keindahan alam, Rinjani juga memiliki aura mistis yang kuat. Bagi masyarakat Sasak, Gunung Rinjani dianggap sebagai tempat suci. Banyak pendaki yang datang tak hanya untuk menaklukkan puncak, tapi juga untuk mencari ketenangan, meditasi, bahkan ritual tertentu.
Hal ini memberi Rinjani “ruh” yang tak dimiliki gunung lain: bukan sekadar pendakian fisik, tapi juga perjalanan batin.
Rinjani, Gunung dengan Seribu Cerita
Gunung Rinjani kini menjadi salah satu destinasi pendakian paling populer di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Daya tariknya bukan hanya karena tinggi dan eksotis, tapi karena cerita yang ia simpan di setiap sudut jalur, kabut, danau, dan puncaknya. Setiap pendaki membawa pulang pengalaman yang tak sama, tapi semuanya jatuh cinta.
Kalau kamu belum pernah mendaki Rinjani, mungkin ini saatnya merencanakan. Tapi ingat, mendaki bukan sekadar soal mencapai puncak. Ini tentang bagaimana kita bisa pulang dengan membawa rasa syukur atas keajaiban alam yang masih ada. (*)
Artikel ini ditayangkan secara otomatis setelah melalui proses penyuntingan dan verifikasi berdasarkan sumber yang tepercaya.
Validitas dan isi sepenuhnya menjadi tanggung jawab redaksi detakpantura.com dan dapat diperbarui sewaktu-waktu sesuai perkembangan informasi.