28.6 C
New York
Sabtu, Juli 26, 2025

Buy now

spot_img

Air Mata Rawagede: Luka yang Tak Pernah Kering di Tanah Karawang

spot_img

DETAKPANTURA.COM — Subuh masih menggigil. Kabut tipis turun menyelimuti persawahan yang menghampar di desa Rawagede, sebuah kampung sunyi yang kini dikenal sebagai Balongsari. Tapi pada pagi 9 Desember 1947, sunyi itu pecah oleh suara sepatu lars dan senjata otomatis.

Tanpa peringatan, ratusan tentara Belanda mengepung desa, menodongkan laras panjang ke dada-dada rakyat yang baru saja bangun dari tidur.

“Kami dikumpulkan di tengah lapangan, laki-laki semua,” tutur Saih bin Sakam, satu dari segelintir penyintas, dalam rekaman dokumentasi sejarah.

“Tak ada pertanyaan, tak ada pengampunan. Mereka cuma mau satu: di mana Kapten Lukas Kustaryo?”

Kapten Lukas adalah komandan gerilya dari Divisi Siliwangi yang dituduh sering menyerang pos Belanda. Tapi hari itu, dia tidak ada di Rawagede. Warga diam. Tak satu pun buka suara. Dan bagi Belanda, diam berarti dosa.

Tanpa proses hukum, tanpa peradilan, tentara Belanda mulai mengeksekusi. Satu per satu lelaki desa dijatuhkan. Suara tembakan memantul di pematang sawah, bercampur dengan jerit anak-anak dan tangisan para ibu. Hujan turun lebat. Air mengalir merah.

Sungai yang Pernah Merah

Sungai kecil yang membelah desa hari itu mengalirkan lebih dari sekadar air.

“Warnanya merah darah,” kenang para janda korban. Tak ada peti mati. Tak ada upacara. Hanya lubang-lubang dangkal yang digali terburu-buru di tanah becek. Mereka mengubur suami, anak, dan ayah dengan tangan gemetar, sebelum Belanda kembali menyisir kampung.

Menurut catatan lokal, 431 jiwa dibantai dalam beberapa jam saja. Tapi pemerintah Belanda saat itu menyangkal, hanya mengakui 150 korban. Kebenaran pun terkubur bersama jasad-jasad yang hilang dari sejarah resmi selama puluhan tahun.

Dendam yang Didiamkan Sejarah

Tragedi Rawagede nyaris dilupakan. Tidak tercantum dalam buku pelajaran, tidak diperingati secara nasional. Para janda hidup dalam sunyi. Tidak ada pengadilan. Tidak ada ganti rugi. Bahkan, sang komandan operasi pembantaian, Mayor Alphons Wijnen, kembali ke negaranya tanpa sekalipun diadili.

Baru pada tahun 2008, sekelompok janda korban yang tersisa, dengan rambut memutih dan tangan gemetar, menggugat pemerintah Belanda melalui Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB). Mereka menuntut bukan hanya uang, tapi pengakuan atas kejahatan yang terlalu lama didiamkan.

Dan akhirnya, pada 14 September 2011, pengadilan di Den Haag memutuskan bahwa pembantaian Rawagede adalah kejahatan perang. Tak ada kedaluwarsa untuk luka sedalam ini.

Belanda akhirnya mengakui dosa sejarah itu. Pemerintahnya membayar kompensasi, dan Menteri Luar Negeri Belanda saat itu datang langsung ke Balongsari. Di hadapan para janda yang masih hidup, ia membungkuk dan berkata: “Maafkan kami.”

Monumen, Tapi Bukan Penutup

Hari ini, sebuah monumen berdiri tenang di tengah desa. Dindingnya dihiasi relief para pejuang dan perempuan menangis. Tapi bagi warga Balongsari, monumen itu bukan penutup. Ia adalah pengingat. Bahwa di tempat ini, 431 nyawa tak bersalah pernah ditelan kezaliman.

Saih bin Sakam, sebelum wafat pada 2014, pernah berkata, “Saya ingin anak-cucu tahu, kita pernah disakiti, tapi tidak pernah menyerah. Rawagede bukan cerita dendam. Ini cerita tentang harga diri.”

Dari Darah Menjadi Kesadaran

Di masa lalu, Rawagede adalah simbol luka kolonial. Kini, desa itu perlahan menjelma menjadi ruang kontemplasi sejarah dan pendidikan. Monumen Rawagede tidak hanya menjadi situs peringatan, tetapi juga titik temu antar generasi, tempat anak-anak sekolah berdiri tegak membaca puisi kemerdekaan dan menyimak kisah para janda yang bertahan dengan air mata dan doa.

Pemerintah daerah bersama komunitas warga mulai menggagas desa wisata sejarah, dengan narasi yang lebih inklusif: tidak hanya mengenang korban, tapi juga merawat nilai-nilai perjuangan. Generasi muda desa tak lagi sekadar mewarisi kesedihan, tetapi juga semangat untuk bangkit, menulis ulang citra Rawagede yang lebih segar.

Dinamika dan Tantangan Baru

Meski Rawagede telah menerima pengakuan dan kompensasi dari Belanda, banyak pertanyaan masih menggantung di langit desa: apakah luka bisa sembuh hanya dengan uang dan kata maaf?

Di sisi lain, modernisasi mulai merambah. Lahan sawah berganti beton, dan tradisi lisan mulai terpinggir oleh media sosial. Ancaman baru datang bukan dari peluru, melainkan dari lupa. Warga khawatir: sejarah bisa pudar jika hanya bergantung pada monumen tanpa narasi hidup yang terus diperbarui.

“Kalau kami tak terus menceritakan, Rawagede bisa jadi hanya nama di buku sejarah. Tapi bukan lagi makna dalam jiwa,” ujar Bu Wanti (76), anak dari salah satu janda Rawagede, yang kini aktif sebagai narasumber dalam kegiatan pendidikan sejarah lokal.

Membangun dari Ingatan

Kini, Rawagede tidak lagi menangis. Ia berbicara—melalui jalan desa yang bersih, tugu yang berdiri tegak, dan pemuda-pemudi yang merintis hidup baru tanpa melupakan masa lalu.

Peringatan tahunan tiap 9 Desember tetap digelar. Tapi tak melulu dengan duka. Ada teatrikal sejarah, bazar UMKM lokal, dan forum diskusi tentang hak asasi manusia. Sebuah pergeseran makna: dari tragedi menjadi penguatan jati diri.

Karena Rawagede tak ingin diingat hanya sebagai kuburan massal. Ia ingin dikenang sebagai desa yang pernah terluka, namun memilih untuk hidup, belajar, dan membangun di atas luka itu.

Cerita Rawagede kini tak hanya milik Karawang. Ia telah menjadi bagian dari memori kolektif bangsa dan bahkan dunia, tentang pentingnya keadilan, pengakuan, dan kemanusiaan.

Dalam era yang kerap menomorsatukan ekonomi di atas sejarah, Rawagede mengingatkan: ada tempat-tempat yang harus diselamatkan bukan karena potensinya, tapi karena nilai-nilai yang dikandungnya. Rawagede hari ini bukan lagi tempat orang mati, tapi tempat nilai-nilai hidup kembali. (*)

Catatan Redaksi:
Artikel ini ditayangkan secara otomatis setelah melalui proses penyuntingan dan verifikasi berdasarkan sumber yang tepercaya.
Validitas dan isi sepenuhnya menjadi tanggung jawab redaksi detakpantura.com dan dapat diperbarui sewaktu-waktu sesuai perkembangan informasi.

Berita Lainnya

spot_img

Trending

Jual Istri Lewat MiChat, Pria di Tuban Ditangkap Polisi

DETAKPANTURA.COM – Seorang pria berinisial AM (27), warga Kabupaten Tuban, Jawa Timur, ditangkap Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Tuban karena nekat menjual istrinya sendiri...
spot_img

PANTURA UPDATE

Jual Istri Lewat MiChat, Pria di Tuban Ditangkap Polisi

DETAKPANTURA.COM – Seorang pria berinisial AM (27), warga Kabupaten Tuban, Jawa Timur, ditangkap Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Tuban karena nekat menjual istrinya sendiri...
- Advertisement -spot_img

Artikel Teratas

Profil

spot_img

Top News

Indeks

Populer