Kabupaten Indramayu dikenal luas sebagai lumbung budaya di Jawa Barat. Tanah kelahiran para seniman dan pelaku seni tradisi ini menyimpan warisan budaya yang begitu kaya, dari seni pantun, tari topeng, wayang kulit, hingga tarian klasik yang pernah mendunia.
Suara gamelan masih kerap terdengar dalam berbagai hajatan rakyat, menggambarkan betapa dalamnya akar budaya yang tertanam di tengah masyarakat.
Di satu sisi, semangat melestarikan budaya tradisional masih hidup di kalangan masyarakat. Pagelaran seni rakyat, pertunjukan tari topeng, hingga tradisi lisan terus digelar di berbagai desa. Generasi muda pun tak sedikit yang mulai menunjukkan minat untuk kembali belajar dan mengenal kesenian daerah mereka.
Namun di sisi lain, ironi itu mencuat ketika sebagian masyarakat justru mulai kehilangan penghargaan terhadap budaya warisan leluhur. Banyak pelaku seni lokal merasa tersisih, tidak dihargai, dan tidak mendapatkan ruang yang layak di tanah kelahirannya sendiri. Mereka kerap diperlakukan sekadar pelengkap acara, bukan sebagai penjaga warisan kearifan lokal.
Kontras yang menyakitkan ini makin diperparah oleh fenomena sosial yang mencoreng wajah budaya Indramayu. Di balik panggung megah seni tradisi, muncul panggung lain yang lebih kelam: kekerasan sosial yang kerap terjadi bersisian dengan pertunjukan budaya.
Aksi kekerasan antarwarga sering kali mewarnai pesta hajatan yang menyuguhkan pertunjukan seni. Tawuran antar penonton, bentrok antarkelompok, bahkan aksi main hakim sendiri kerap menghantui ruang-ruang pertunjukan budaya. Seolah-olah ada dua panggung yang berjalan beriringan, satu menampilkan keindahan budaya, dan yang lain mempertontonkan sisi gelap masyarakat.
Kekayaan budaya yang seharusnya menjadi benteng moral tak lagi mampu membendung gelombang destruktif yang tumbuh di tengah masyarakat. Nilai-nilai budaya yang semestinya membentuk karakter dan peradaban justru tergilas oleh perilaku kekerasan yang seolah menjadi kebiasaan.
Ketika nilai-nilai kearifan lokal hanya dijadikan simbol seremonial tanpa penghayatan mendalam, warisan leluhur kehilangan fungsinya sebagai penuntun kehidupan. Budaya yang seharusnya menjadi perekat sosial, justru terpinggirkan oleh insting-insting kekerasan yang menjamur.
Pemerhati budaya dan tokoh masyarakat pun angkat suara, menyerukan perlunya pendekatan yang lebih substansial dalam pendidikan karakter berbasis budaya lokal.
“Budaya jangan hanya dipertontonkan, tapi harus ditanamkan dalam hati generasi muda,” ujar Totong Sunarya, salah satu pemerati budaya Jawa Barat.
Ia menekankan bahwa seni dan budaya tidak boleh berhenti sebagai tontonan musiman, melainkan harus menjadi kesadaran kolektif yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari.
“Budaya bukan hanya sesuatu yang dipentaskan. Ia tidak boleh berhenti sebatas tontonan yang dikonsumsi secara seremonial atau hiburan dalam acara tertentu. Lebih dari itu, budaya harus dihidupi, dijadikan sebagai nilai yang menjiwai perilaku, sikap, dan cara pandang masyarakat dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Totong.
Dalam arti ini, budaya mencerminkan identitas, prinsip moral, serta panduan dalam berinteraksi antar manusia dan dengan alam. Ketika budaya hanya menjadi pertunjukan, ia kehilangan daya hidupnya. Namun, ketika budaya dijadikan nilai hidup, ia akan terus berkembang dan berfungsi sebagai fondasi peradaban.
Tantangan Indramayu hari ini bukan sekadar menjaga kelestarian seni tradisi, tetapi mengembalikannya sebagai ruh kehidupan sosial yang mampu meredam kekerasan dan membangun peradaban. Sebab jika tidak, kekayaan budaya itu hanya akan menjadi latar dekoratif bagi panggung kekerasan yang terus berulang tanpa henti.***
Artikel ini ditayangkan secara otomatis setelah melalui proses penyuntingan dan verifikasi berdasarkan sumber yang tepercaya.
Validitas dan isi sepenuhnya menjadi tanggung jawab redaksi detakpantura.com dan dapat diperbarui sewaktu-waktu sesuai perkembangan informasi.